PERTAHANAN UDARA SEBATAS DI ATAS KERTAS

 

Jakarta, PI NEWS Online _

Meski FIR telah diambilalih tapi Singapura masih mengatur 37 ribu kilometer persegi wilayah udara di sekitar Changi, untuk itu RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara perlu segera dibahas. Tanpa UU yang kuat, ruang udara Indonesia masih menjadi jalan tol pesawat luar negeri.
Di balik pencapaian diplomatik dalam pengambilalihan sebagian wilayah informasi penerbangan (Flight Information Region/FIR) dari Singapura pada tahun 2022, tersimpan persoalan lebih dalam soal kedaulatan, keamanan nasional, hingga kesiapan hukum menghadapi tantangan ruang udara modern di Indonesia. Karenanya dibutuhkan payung hukum komprehensif untuk menjaga ruang udara tanah air.

Kepala Kajian Hukum Udara dan Antariksa Universitas Prasetiya Mulya, Ridha Aditya Nugraha berpendapat, Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam pengelolaan ruang udara. Tetapi masih belum memiliki kerangka hukum nasional yang memadai. Setidaknya sepanjang dua tahun terakhir, Indonesia telah berupaya menetapkan bentuk baru pengelolaan ruang udara.

“Tapi kita belum punya kerangka hukum nasional yang kuat,” kata Ridha dalam seminar internasional secara daring, Rabu (30/4/2025).
Ridha menjelaskan, ruang udara bukan sekadar jalur lalu lintas penerbangan sipil, melainkan juga merupakan elemen penting dalam pertahanan negara. Dualisme otoritas antara sipil dan militer menurutnya, dapat menimbulkan konflik jika tidak diatur dengan baik. Menurutnya region pertahanan udara memiliki dua perspektif utama. Yakni pertahanan nasional yang dijalankan oleh TNI dan navigasi udara sipil yang diatur oleh Kementerian Perhubungan.

“Jika dua entitas ini tidak hidup dalam harmoni, potensi gesekan sangat besar,” katanya.

Apabila berkaca pada kasus yang terjadi sebelum tahun 2022, ketika sebagian besar wilayah FIR Indonesia masih di bawah kendali Singapura. Indonesia benar-benar tidak memiliki kedaulatan atas ruang udaranya sendiri. Dalam kasus tersebut, sebuah pesawat kargo asal Ethiopia sempat melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin langsung dari otoritas nasional.Maka dari itu, perjanjian antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 2022 memang membawa perubahan signifikan. Hanya saja, pengambilalihan FIR belum sepenuhnya selesai. Singapura masih mengatur wilayah udara seluas 37 ribu kilometer persegi di sekitar Changi hingga tahun 2047.Meski FIR telah diambilalih tapi Singapura masih mengatur 37 ribu kilometer persegi wilayah udara di sekitar Changi, untuk itu RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara perlu segera dibahas.
Pertahanan Udara Sebatas di Atas Kertas, Indonesia Belum Berdaulat di Langit Sendiri
Meski FIR telah diambilalih tapi Singapura masih mengatur 37 ribu kilometer persegi wilayah udara di sekitar Changi, untuk itu RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara perlu segera dibahas. Tanpa UU yang kuat, ruang udara Indonesia masih menjadi jalan tol pesawat luar negeri
“Di atas kertas, Indonesia memang memegang kendali sebagian besar FIR-nya, tapi kepercayaan antara kedua negara belum sepenuhnya pulih. Kita masih perlu membangun infrastruktur, meningkatkan skor Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP), dan tentu, membentuk undang-undang yang menjawab kebutuhan nasional seperti UU tentang Pengelolaan Ruang Udara ,” paparnya.

Ridha menambahkan, tantangan baru pun muncul di era modern ini. Termasuk penerbangan sub-orbital, balon internet, dan kendaraan Antariksa komersial. Tantangan tersebut membuat antara ruang udara dan ruang angkasa kini semakin kabur.

“Penerbangan sub-orbital seperti Virgin Galactic bisa saja memasuki wilayah udara Indonesia sebelum meluncur ke luar angkasa. Jika kita tidak punya regulasi yang jelas, bagaimana kita akan mengatur itu?,” ujarnya.

Dia mendorong pembentukan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defense Identification Zone/ADIZ) sebagai langkah proaktif dalam menjaga kedaulatan wilayah udara Indonesia. Ridha menyarankan pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Pasal 3 bis Konvensi Chicago yang melarang penembakan terhadap pesawat sipil.

“Walaupun belum meratifikasi, Indonesia tetap wajib mematuhi ketentuan itu karena telah menjadi hukum kebiasaan internasional,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas telah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) rancangan undang-undang (RUU) tentang Pengelolaan Ruang Udara kepada Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk segera dibahas dan disetujui.

“Kami sampaikan RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara untuk dibahas kembali pada tahun 2025 ini agar disetujui dan disahkan, dan dapat menjadi dasar hukum dalam pengelolaan ruang udara, mewujudkan kepentingan nasional,” ujar Supratman dikutip dari Antara.

Mantan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR periode 2016-2024 itu mengatakan, ruang udara Indonesia perlu dikelola secara optimal guna melindungi kedaulatan, menjaga ketertiban nasional, serta memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Negara-negara seperti Australia, Thailand, hingga Oman pun telah memiliki regulasi serupa yang berdiri terpisah dari aturan penerbangan sipil.(Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *