Model Rekonsiliasi Adat Negara: Inisiatif Sultan Sepuh untuk Stabilitas dan Demokrasi Indonesia”
Cirebon| PI – NEWS.Online.com
Indonesia sebagai negara pasca-kolonial berdiri di atas fondasi sejarah kerajaan dan kesultanan Nusantara yang telah memiliki sistem hukum, politik, dan sosial yang mapan. Namun integrasi antara entitas adat (Negara Awal) dan negara modern (Negara Baru) tidak pernah dirumuskan dalam kerangka hubungan tata negara yang formal. Akibatnya, muncul berbagai problem yuridis, agraria, dan kelembagaan yang menimbulkan potensi “penjajahan internal”.
Kajian ini membangun model rekonsiliasi adat – negara sebagai kerangka konseptual baru untuk menyatukan peran historis kerajaan dengan kebutuhan tata kelola pemerintahan modern. Fokus utama diarahkan pada penguatan kelembagaan Dewan Adat Nasional Republik Indonesia (DANRI) sebagai representasi formal Raja–Sultan Nusantara. Kajian ini menunjukkan bahwa pelibatan struktural Raja – Sultan dalam pemerintahan nasional berkontribusi signifikan terhadap stabilitas keamanan, ketahanan ekonomi, kohesi sosial, dan konsolidasi demokrasi. Rekonsiliasi adat–negara bukan ancaman, tetapi instrumen strategis untuk memperkuat legitimasi, efektivitas, dan kedaulatan NKRI.
1.Pendahuluan
Kerajaan dan kesultanan Nusantara merupakan entitas politik yang telah lama berfungsi sebagai pusat hukum, pemerintahan, dan diplomasi. Walaupun NKRI lahir sebagai Negara Baru pada 1945, sejarah entitas adat tidak pernah dihapuskan. Integrasi tersebut tidak disertai mekanisme formal dalam bentuk perjanjian penyerahan kedaulatan, sehingga menghasilkan ambiguitas hukum dan administratif – khususnya terkait tanah ulayat, aset swapraja, dan posisi politik para penerus tahta.
Persoalan ini menghambat tata kelola nasional dan menghalangi optimalisasi peran Raja Sultan sebagai penjaga kearifan lokal, integrasi wilayah, dan stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu model rekonsiliasi adat–negara yang menempatkan DANRI sebagai institusi penghubung dan penguat relasi konstitusional antara Negara Awal dan Negara Baru.
2.Landasan Filosofis dan Konstitusional
2.1 Landasan Filosofis
Model rekonsiliasi ini berpijak pada nilai-nilai Pancasila yang menjunjung:
Kemanusiaan dan keadilan sejarah;
Pengakuan terhadap identitas, martabat, serta struktur adat;
Kehendak kolektif untuk membangun tata kelola nasional yang berkeadilan.
Filosofi ini menolak subordinasi kerajaan sebagai entitas tak relevan, melainkan menegaskan bahwa mereka adalah bagian intrinsik dari state continuity bangsa Indonesia.
2.2 Landasan Konstitusional
Pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat termuat dalam:
– Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 – rekognisi dan penghormatan terhadap hak adat;
– Pasal 32 – pemajuan budaya nasional berbasis lokalitas;
Pasal 33 – pemanfaatan SDA untuk kemakmuran rakyat, termasuk komunitas adat;
Peraturan agraria seperti UUPA 1960, PP 224/1961, PP 18/2021, dan Permen ATR/BPN 14/2024 menjadi dasar yuridis pengaturan tanah komunal, meski implementasi masih belum konsisten.
Diperlukan model kebijakan baru yang memasukkan peran DANRI dan Raja–Sultan dalam tata kelola negara secara formal dan sistematis.
3.Permasalahan Yuridis, Historis, dan Kelembagaan
Kajian menemukan empat problem struktural utama:
1) Ketiadaan perjanjian penyerahan kedaulatan kerajaan kepada NKRI
Integrasi bersifat politis, bukan legal formal, sehingga menimbulkan problem kesetaraan hubungan adat–negara.
2) Ambiguitas status tanah ulayat dan aset swapraja
Sebagian besar diperlakukan sebagai tanah negara tanpa mekanisme rekonsiliasi adat.
3) Marjinalisasi hak-hak komunal dan fungsi kerajaan
Padahal secara historis, institusi kerajaan adalah penjaga stabilitas sosial dan kohesi masyarakat.
4) Minimnya ruang formal bagi Raja–Sultan dalam struktur pemerintahan
Inilah yang menghambat kontribusi kerajaan terhadap konsolidasi demokrasi dan tata kelola nasional.
4.Model Rekonsiliasi Adat – Negara
Model ini dibangun atas tiga pilar utama:
4.1 Rekognisi Konstitusional
Negara melakukan pengakuan formal terhadap eksistensi kerajaan dalam konteks sejarah, budaya, dan komunal.
4.2 Rekonsiliasi Historis dan Yuridis
Menyelaraskan hak adat, tanah ulayat, dan aset swapraja melalui regulasi terpadu yang melibatkan DANRI.
4.3 Integrasi Fungsional dalam Tata Kelola Nasional
Raja–Sultan menjadi bagian dari institusi negara dalam bidang:
– stabilitas keamanan,
– diplomasi budaya,
– mediasi sosial,
– stabilitas ekonomi daerah adat.
Inilah esensi dari konsolidasi demokrasi berbasis kearifan lokal.
5.Peran Institusional DANRI dalam Tata Kelola Nasional
DANRI berfungsi sebagai:
1.Representasi resmi Raja–Sultan Nusantara,
memastikan hak adat dan peran kerajaan terintegrasi dalam kebijakan negara.
2.Mitra strategis Pemerintah,
memberikan rekomendasi terkait agraria adat, kebudayaan, dan stabilitas sosial.
3.Penghubung antara komunitas adat dan pemerintah pusat,
mengurangi konflik agraria, identitas, dan wilayah.
4.Instrumen konsolidasi demokrasi,
karena ia memperluas basis legitimasi negara melalui penguatan unsur kultural.
5.Penjaga stabilitas nasional,
terutama di daerah rawan konflik horizontal dan agraria.
6.Rekomendasi Kebijakan untuk Penguatan Rekonsiliasi Adat–Negara
6.1 Revitalisasi Institusi Keraton
Negara memberikan dukungan regulatif dan anggaran untuk pemulihan fungsi keraton sebagai pusat budaya dan sosial.
6.2 Sertifikasi Tanah Komunal dan Ulayat
Reposisi tanah adat melalui mekanisme formal yang mengakui hak komunal Raja–Sultan sebagai pemangku sejarah.
6.3 Kompensasi Ekonomi Adat
Advertisement
Skema profit-sharing 10–25% untuk masyarakat adat di wilayah konsesi ekonomi.
6.4 Penguatan DANRI sebagai Lembaga Negara
Pembentukan Lembaga Negara Dewan Adat Nasional Republik Indonesia (DANRI) untuk menangani:
– keraton dan kerajaan,
– tanah ulayat,
– masyarakat adat,
– mediasi konflik agraria,
– perumusan kebijakan nasional terkait adat.
6.5 Pelibatan Struktural Raja–Sultan dalam Pemerintahan
Melalui:
– keanggotaan kehormatan DPD RI,
– penasihat Presiden,
– Utusan Khusus Presiden untuk Masyarakat Adat,
– komisaris BUMN strategis,
– pengawas transformasi nasional dan tata kelola publik.
Pelibatan ini meningkatkan legitimasi demokrasi dan stabilitas nasional.
7.Implikasi Sosial, Politik, dan Demokratis
Implementasi model rekonsiliasi akan menghasilkan:
– Keadilan historis dan agraria,
– Integrasi nilai adat ke dalam demokrasi modern,
– Peningkatan kesejahteraan masyarakat adat,
– Reduksi konflik agraria dan sosial,
– Penguatan kedaulatan NKRI melalui tata kelola inklusif,
– Stabilitas keamanan dan ekonomi berbasis budaya.
8.Kesimpulan
Rekonsiliasi adat–negara merupakan kebutuhan strategis untuk memulihkan kontinuitas sejarah Indonesia dan memperkuat tata kelola nasional. Pelibatan institusional DANRI dan kepemimpinan Raja–Sultan Nusantara bukan ancaman terhadap NKRI, melainkan fondasi penguatan demokrasi, ketahanan nasional, dan legitimasi negara. Hubungan antara kerajaan, tanah ulayat, dan masyarakat adat harus ditempatkan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pembangunan nasional.
Sebagaimana pesan leluhur:
“Benar katakan benar, salah katakan salah; jangan ada pembenaran di atas kesalahan.”
Daftar Pustaka :
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
• Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
• Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
• Peraturan Pemerintah 224 Tahun 1961;
• PP 18 Tahun 2021.
• Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024.
• Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.
• Literatur sejarah kerajaan Nusantara.
Oleh:
Kanjeng Gusti Sultan Sepuh Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja, S.Psi., M.H.
Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Kesultanan Cirebon /
Ketua Umum Dewan Adat Nasional Republik Indonesia (DAN-RI)








