Diplomasi Sunyi Indonesia di Tengah Gemuruh Geopolitik Dunia

 

Diplomasi Sunyi Indonesia di Tengah Gemuruh Geopolitik Dunia

Oleh: Senia Putri Ristiani

Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi

 

Saat ini, dunia sedang bergerak dalam irama yang semakin bising. Bukan hanya karena dentuman senjata, tapi karena manuver negara-negara kuat yang saling mengunci lewat inovasi teknologi, dominasi sistem ekonomi hingga tarik-menarik pengaruh. Di tengah arus besar itu, Asia-Pasifik berdiri menjadi panggung paling ramai. Wilayah yang dulu hanya dipuji sebagai mesin pertumbuhan kini menjelma arena tarung kepentingan global. Namun ketika banyak negara bereaksi dengan sikap keras dan diplomasi lantang, Indonesia justru melangkah ke arah yang tidak biasa, yakni memilih diam, tetapi bekerja. Diplomasi sunyi yang mungkin tak terdengar dan tanpa disadari orang, tapi justru paling relevan di tengah kegaduhan geopolitik global.

 

Kehidupan kita saat ini begitu sulit ditebak. Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok rasanya menjadi semakin intens, kebijakan ekonomi ikut merangkak naik, rantai pasok global berubah arah dan ketidakpastian senantiasa menjadi langganan harian. Dalam laporan International Monetary Fund bahkan mencatatkan bahwa meski Asia-Pasifik tumbuh 4,5% pada tahun 2025, kawasan ini tetap terseok oleh tarif tinggi AS dan dinamika manufaktur global yang terus berubah. Indeks ketidakpastian perdagangan pun menyentuh level tertinggi sejak tahun 2020. Artinya, negara manapun yang gegabah dalam menentukan posisi niscaya akan mudah tergelincir.

 

Di sinilah Indonesia memainkan peran uniknya. Letak geografis kita bukan sekadar kebetulan. Pemikir Geopolitik Nicholas Spykman berpendapat bahwa masa depan dunia ditentukan oleh penguasaan Rimland, dimana kawasan pesisir Eurasia-lah yang menguasai jalur perdagangan utama serta titik-titik konektivitas global. Indonesia terletak di pusat kawasan Rimland tersebut. Dengan mengendalikan Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan jalur laut Indo-Pasifik memberi Indonesia kekuatan strategis yang tidak bisa diabaikan. Jika Rimland Adalah “kunci” dunia, maka Indonesia adalah salah satu negara yang memegang kunci itu. Dan posisi ini menuntut kecermatan, bukan kegaduhan.

 

Inilah sebabnya setiap perubahan yang terjadi di Asia-Pasifik, seperti pemindahan pabrik dari Cina, persaingan dalam industri chip, perang tarif, hingga pertikaian di Laut Cina Selatan pasti akan memiliki pengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap Indonesia. Sebagai negara yang menguasai jalur transportasi, Indonesia tidak bisa hanya bersikap pasif melainkan harus memastikan bahwa perairannya terlindungi, perdagangan tetap berjalan, serta tidak terjerat dalam kepentingan negara besar. Dalam hal ini diplomasi sunyi, sebuah strategi yang tidak secara tegas memihak, tetapi tetap membuka peluang untuk bernegosiasi menjadi pilihan yang masuk akal.

 

Dan faktanya, diplomasi sunyi ini tidak bekerja dalam senyap. Ia hadir dalam langkah-langkah nyata, misalnya dengan memperkuat kemitraan ASEAN sambil tetap menjaga fleksibilitas dalam hubungan bilateral dengan negara-negara besar. Dalam hal keamanan laut, Indonesia menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat konfrontatif dan lebih mengutamakan kolaborasi teknis, patroli bersama, serta penguatan Coast Guard. Sementara itu, Indonesia juga meningkatkan kehadiran dalam forum seperti APEC untuk memastikan kepentingan maritimnya terwakili dalam pembicaraan global. Semua tindakan ini dilakukan secara halus tanpa sorotan berlebihan guna menghindari ketegangan.

 

Banyak yang salah mengira bahwa sikap tenang berarti tidak berani. Padahal justru sebaliknya. Dalam wilayah yang sensitif seperti Asia-Pasifik, negara yang paling keras bicara seringkali justru menjadi negara yang paling rentan. Melalui diplomasi sunyi, Indonesia mampu menjaga hubungan dengan AS dalam isu teknologi, tetap bekerja sama dengan Tiongkok dalam investasi, sekaligus merangkul negara-negara lain sebagai kekuatan penyeimbang. Inilah wujud politik menyeimbangkan kekuatan ala Spykman yang diterjemahkan Indonesia secara tepat.

 

Tentu saja, pendekatan ini bukan tanpa tantangan. Publik sering tidak melihat hasilnya secara langsung sehingga muncul anggapan bahwa pemerintah “diam saja”. Tekanan dari kekuatan besar juga semakin nyata, sementara stabilitas kawasan bergantung pada ketekunan Indonesia dalam menjaga reputasinya sebagai mediator. Jika Indonesia goyah, maka keseimbangan kawasan pun ikut limbung.

 

Namun justru karena tantangan itulah diplomasi sunyi menjadi relevan. Dengan modal demografi, pertumbuhan ekonomi, dan posisi rimland yang strategis, Indonesia memiliki kesempatan besar memimpin arsitektur kerja sama Indo-Pasifik. Bukan dengan teriakan, melainkan melalui ketenangan yang memberi ruang dialog.

 

Pada akhirnya, ketika dunia sibuk memperkeras suara, Indonesia memilih untuk merendahkan tensi. Dan dari pilihan itu, lahirlah strategi geopolitik yang lebih matang. Diplomasi sunyi bukan sekadar gaya, melainkan cara Indonesia dalam memastikan Asia-Pasifik tetap stabil dan tidak dikuasai satu kekuatan saja. Di persimpangan geopolitik baru ini, Indonesia benar-benar memainkan peran sebagaimana yang dibayangkan Spykman, yaitu aktor Rimland yang menentukan arah dunia, bukan dengan kata-kata keras, tetapi dengan langkah yang tegas dan berkualitas.

Pos terkait