Proyek Talud Drainase Ruas Ngraho–Ketuwan di Blora Tidak Gunakan Standar SNI Disorot Publik
*Pemerhati konstruksi: Kalau alasan pemberdayaan dijadikan dasar untuk menurunkan standar mutu, itu sangat tidak logis.*
BLORA Jateng, pi-news.online // Proyek pembangunan pekerjaan talud drainase di ruas Ngraho–Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang bersumber dari APBD Tahun Anggaran 2025, kali ini menuai sorotan publik setelah muncul dugaan penggunaan material buis beton yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Proyek dengan nilai kontrak sebesar Rp957 juta dari pagu Rp1,072 miliar itu dikerjakan oleh CV Dhiva Karya Sentosa dengan CV Statikagista sebagai konsultan pengawas dengan waktu pelaksanaan ditetapkan selama 103 hari, mulai 4 September hingga 15 Desember 2025.
Indikasi dugaan tentang penggunaan material non-SNI ini diperkuat oleh pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas PUPR Kabupaten Blora, Nidzamudin Al Hudda, ST, yang mengakui bahwa material buis beton yang digunakan berasal dari home industry.
“Buis beton hanya digunakan sebagai begisting cor mas, material tersebut dari home industry karena di dalam RAB tidak diharuskan SNI, dengan alasan pemberdayaan,” jelas Nidzamudin, Senin (10/11/2025) di kantornya.
Namun, alasan tersebut dinilai tidak sejalan dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Pasal 20 ayat (2) mewajibkan instansi pemerintah menggunakan barang/jasa yang memenuhi standar SNI.
Hal serupa juga ditegaskan dalam PP Nomor 34 Tahun 2018 Pasal 44 ayat (1) dan Permen PUPR Nomor 27 Tahun 2018 Pasal 3 ayat (1) yang mewajibkan bahan bangunan dalam pekerjaan konstruksi pemerintah menggunakan material bersertifikat SNI.
Menanggapi hal tersebut, salah seorang pemerhati konstruksi yang enggan disebutkan namanya menilai bahwa penggunaan material non-SNI dalam proyek yang bersumber dari APBD dapat berimplikasi serius terhadap mutu pekerjaan dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
Ketika proyek pemerintah menggunakan dana publik, maka standar kualitas tidak bisa ditawar.
“SNI itu bukan formalitas, tapi jaminan mutu. Jika dibiarkan, ini bisa menurunkan daya tahan bangunan dan berpotensi menjadi temuan BPK,” kata dia kepada media ini.
Ia juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dari konsultan maupun dinas teknis.
“Fungsi pengawasan tidak boleh permisif. Jika dalam RAB tidak tercantum kewajiban SNI, itu menunjukkan lemahnya perencanaan teknis. Padahal regulasi nasional sudah jelas mengatur kewajiban tersebut.” Ungkapnya.
Dirinya juga mendesak agar Dinas PUPR Kabupaten Blora segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proyek infrastruktur yang menggunakan material serupa, serta membuka dokumen perencanaan (RAB dan spesifikasi teknis) untuk diperiksa publik.
Selain itu, ia juga mendorong agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat Daerah turun melakukan pemeriksaan, karena penggunaan material non-SNI berpotensi melanggar prinsip efisiensi, mutu, dan akuntabilitas pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021.
“Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan tanpa mengabaikan aturan. Negara tetap wajib memastikan kualitas infrastruktur yang dibangun dengan uang rakyat,” Pungkasnya pria yang juga seorang akademisi ini. (Galoeh.Hs/Tim)







