Rehabilitasi Polsek Kedewan Berpotensi Bermasalah: Pondasi Tak Standar, Kontraktor Arogan
*Hasil pantauan di lapangan menunjukkan kualitas pekerjaan yang jauh dari harapan.*
Bojonegoro Jatim, pi-news.online // Proyek rehabilitasi Kantor Polsek Kedewan yang dikerjakan oleh rekanan asal Tuban kini menjadi sorotan tajam publik.
Pekerjaan senilai miliaran rupiah dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya Kabupaten Bojonegoro itu diduga kuat dikerjakan asal-asalan, tanpa pengawasan ketat, serta diwarnai perilaku arogan dari pihak kontraktor.
Proyek ini tercatat memiliki Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 2.322.950.041,06, sementara harga penawarannya hanya Rp 2.206.802.441,92, turun sekitar 5 persen dari HPS.
Penurunan tersebut semestinya diimbangi dengan efisiensi dan peningkatan mutu pekerjaan, namun yang terlihat justru sebaliknya.
Pondasi pagar tampak berongga, saluran air tanpa lantai dasar, sementara pasangan batu terlihat berantakan, tidak berpola, dan hanya disarati semen seadanya. Kualitas pengerjaan menyerupai praktik amatir, bukan hasil kerja profesional berstandar teknis.
Ditambah lagi para pekerja terlihat tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sebagaimana diwajibkan dalam Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK).
Ironisnya lagi, papan nama proyek, yang semestinya menjadi bentuk transparansi dan tanggung jawab publik, tidak ditemukan di lokasi pekerjaan.
Fakta ini memperkuat dugaan bahwa pekerjaan dilakukan tanpa kepatuhan pada ketentuan administrasi proyek pemerintah.
Sumber lapangan menyebutkan bahwa proyek ini digarap oleh kontraktor bernama Tono, asal Tuban. Namun kuat dugaan, CV yang digunakan hanya pinjam bendera semata. Bahkan terdapat dugaan paket proyek tersebut di jual-belikan.
Praktik jual-beli proyek seperti ini jelas melanggar prinsip pengadaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Jika dugaan ini benar, maka bukan hanya terjadi pelanggaran administratif, melainkan juga pelanggaran etika dan moral, yang berpotensi merugikan negara sekaligus mencoreng kredibilitas dunia konstruksi daerah.
Lebih jauh lagi, perilaku kontraktor Tono disebut tidak hanya abai terhadap mutu pekerjaan, tetapi juga menunjukkan arogansi terhadap insan pers.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Tono pernah melontarkan ancaman melalui salah satu rekannya kepada awak media yang sedang menjalankan tugas peliputan di lapangan.
Bahkan ia sempat berkoar-koar akan “meringkus” atau melaporkan wartawan ke polisi, dengan dalih yang tidak jelas.
Sikap semacam ini menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana mungkin seorang pelaksana proyek pemerintah justru menekan media yang sedang menjalankan fungsi kontrol publik sesuai kaidah jurnalistik
Dalam konteks demokrasi, tindakan intimidatif terhadap jurnalis bukan hanya tidak etis, tetapi juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang secara tegas menjamin kebebasan dan independensi wartawan dalam menjalankan tugasnya.
Menanggapi laporan mengenai dugaan penyimpangan dan sikap arogansi kontraktor, Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bojonegoro, Satito Hadi, saat dikonfirmasi oleh awak media pada Rabu (5/11/2025) menyatakan:
“Nggih, Mas… nanti kami telusurinya. Terima kasih infonya,” ujarnya singkat melalui pesan konfirmasi.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya komitmen awal dari dinas terkait untuk menelusuri dan mengevaluasi pelaksanaan proyek.
Namun publik menantikan langkah tegas lanjutan, baik berupa pemeriksaan teknis lapangan, klarifikasi rekanan, maupun penegakan sanksi administratif bila terbukti terdapat pelanggaran.
Proyek dengan nilai lebih dari dua miliar rupiah ini mencakup pekerjaan besar, mulai dari pekerjaan tanah, beton, kusen, instalasi listrik, pagar, paving halaman, hingga saluran air. Karena itu, masyarakat berharap setiap detail pekerjaan dijalankan sesuai spesifikasi dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Kelalaian teknis, praktik dugaan jual proyek, dan tindakan intimidatif terhadap pers hanyalah cermin dari rendahnya profesionalisme dan lemahnya pengawasan.
Dinas teknis dan aparat pengawasan diharapkan tidak hanya menelusuri, tetapi juga menindak secara nyata agar praktik semacam ini tidak terus menggerogoti kredibilitas pembangunan daerah. (Galoeh.H.s/Tim)







