Cahyalana: Gelar Pahlawan Soeharto Bukan Soal Pro atau Kontra, Tapi Pemahaman Sejarah Secara Menyeluruh

 

Cahyalana: Gelar Pahlawan Soeharto Bukan Soal Pro atau Kontra, Tapi Pemahaman Sejarah Secara Menyeluruh

Way Kanan, 5 November 2025 — Eks aktivis 1998, Cahyalana, menilai bahwa wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, seharusnya tidak dipandang dari sisi pro dan kontra semata. Menurutnya, penilaian terhadap Soeharto harus dilakukan secara utuh dan objektif, bukan dengan cara melihat sejarah secara sepotong-sepotong.

“Silakan saja pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto selama memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Yang menarik justru adalah siapa yang menolak rencana itu dan apa motifnya,” ujar Cahyalana. Ia mempertanyakan, apakah pihak-pihak yang menolak tersebut merupakan bagian dari kelompok atau keluarga eks-PKI, atau hanya reformis gadungan yang terjebak dalam sikap diskriminatif terhadap masa lalu.

Cahyalana berpendapat, jika mereka yang menolak mengklaim diri sebagai pejuang demokrasi atau reformis sejati, maka seharusnya penolakan itu juga disertai dengan tuntutan agar gelar Pahlawan Nasional bagi Soekarno dicabut. “Agar adil dan objektif, jangan melihat sejarah secara parsial dan tendensius terhadap pihak lain,” tegasnya.

Ia menjelaskan, untuk memahami kepemimpinan Soeharto dan dinamika Orde Baru, masyarakat perlu melihat konteks politik dan keamanan nasional pada masa itu. “Di era Soeharto, bangsa ini menghadapi berbagai perlawanan ideologis dan separatis yang berupaya mengubah dasar negara serta memisahkan diri dari NKRI. Bila saat itu Soeharto tidak bersikap tegas, mungkin hari ini kita tidak lagi mengenal Indonesia sebagai satu kesatuan NKRI,” jelasnya.

Lebih lanjut, Cahyalana menilai gerakan mahasiswa pada masa reformasi merupakan gerakan murni yang memang menuntut perubahan politik dan berakhir dengan turunnya Soeharto. Namun, ia menekankan bahwa perjuangan itu memiliki konsekuensi, seperti penangkapan, penculikan, hingga kekerasan — hal yang menurutnya menjadi keniscayaan dalam setiap pergolakan sejarah bangsa.

Di era reformasi saat ini, Cahyalana menyoroti bahwa sebagian pihak yang mengaku sebagai pejuang demokrasi justru kehilangan arah perjuangan. “Seharusnya mereka fokus mengawal pemerintahan agar kebijakan tetap berpihak kepada rakyat, bukan terus memperdebatkan soal layak atau tidaknya Soeharto menjadi Pahlawan Nasional,” ujarnya.

Menutup pandangannya, Cahyalana mengajak publik untuk menilai sejarah dengan kepala dingin. “Pertanyaannya sederhana: apakah kondisi bangsa hari ini lebih baik dari era Soeharto? Kalau tidak, maka masalahnya bukan pada gelar pahlawan, tapi pada kegagalan kita memahami sejarah dan cita-cita reformasi,” pungkasnya.

Pos terkait