Fenomena Kolonialisme Digital: Manusia Kini Jadi Komoditas di Era Algoritma
JAKARTA | Tribun TIPIKOR.com
Di era digital yang serba cepat ini, manusia tampak semakin bebas, tetapi sejatinya semakin terikat.
Terikat oleh layar, oleh sinyal, oleh algoritma yang tahu kapan kita tertawa, kapan kita sedih, bahkan kapan kita siap digiring ke arah tertentu.
Dunia digital menjanjikan kebebasan tanpa batas, namun di balik layar ponsel, kebebasan itu perlahan dijual dalam bentuk data, perhatian, dan kesadaran.
Dulu, penjajahan datang lewat kapal dan senjata. Kini, ia datang lewat aplikasi dan paket data.
Kalau dulu bangsa ditundukkan oleh opium, hari ini manusia ditundukkan oleh dopamin zat kecil dalam otak yang membuat kita terus menatap layar, mencari sensasi tanpa henti.
TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts bukan sekadar hiburan.
Mereka adalah mesin lapar perhatian, yang bekerja tanpa henti merekam perilaku penggunanya: apa yang disukai, berapa lama ditonton, bahkan bagaimana ekspresi wajah saat menatap layar.
Setiap detik yang dihabiskan di dalamnya menghasilkan data data yang dijual, diperdagangkan, dan ditukar dengan kekuasaan serta uang.
Inilah tambang emas baru abad ke-21: data dan kesadaran manusia.
Ironisnya, miliaran manusia menyerahkan semua itu dengan sukarela.
Nama, lokasi, wajah, hingga kebiasaan paling pribadi diserahkan dengan mudah hanya untuk sedikit hiburan, sedikit validasi, sedikit rasa diterima.
Inilah bentuk kolonialisme paling halus dalam sejarah, tulis Agus M. Maksum dalam catatannya.
Ketika manusia menyerahkan dirinya sendiri sambil tersenyum. Tak ada darah, tak ada peluru, tapi pikiran-pikiran kini lumpuh sibuk menatap, lupa berpikir.
Dulu, Pasal 33 UUD 1945 dirancang untuk memastikan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Namun kini, yang dikuasai bukan lagi tambang di bawah tanah, melainkan tambang di dalam kepala manusia kesadaran yang dikendalikan algoritma.
Teknologi seharusnya menjadi alat pembebasan. Namun tanpa kesadaran, ia berubah menjadi alat penjajahan paling canggih dalam sejarah manusia.
Kini, manusia tidak sekadar menjadi pengguna tapi juga produk.
Dan penjajahan itu, tragisnya, kita biayai sendiri, setiap kali membeli paket data.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar abad ke-21 bukan lagi tentang siapa yang menguasai tanah atau minyak,
melainkan siapa yang menguasai perhatian dan pikiran manusia.
Di tengah derasnya arus digital, manusia perlu mengambil jeda berhenti sejenak untuk bertanya:
Siapa yang sebenarnya mengendalikan kesadaran kita?
Apakah masih diri kita sendiri, atau sistem tak kasat mata yang menulis ulang cara kita berpikir?
Kadang yang paling berbahaya bukanlah kehilangan kebebasan,tulis Agus.
Melainkan ketika kita merasa bebas, padahal sedang diperintah oleh sesuatu yang tak kita lihat.
Agus M. Maksum :
Pemerhati Budaya Digital dan Kolumnis Sosial.







